Kehadiran bangsa Eropa sejak abad 17, dengan beberapa peneliti yang tidak teliti, dan peneliti yang dibayar untuk misi agama dan imperialisme telah memulai sjarah baru untuk mendiskreditkan batak dan ketuhanan batak ke sebuah tempat asing dan negatif. Karena memang sesuai keyakinan mereka, agamanya berikut sifat egaliter didalamnya, sebagai kebenaran tunggal, sehingga kebenaran-ketuhanan yang hidup pada bangsa-bangsa dinafikan, dan dicap sesat. Masyarakat pribumi dicap tidak beragama dan tidak bertuhan. Hal itu dibenarkan dalam kelompiknya, direplikasi berulang sampai dianggap sebagai kebenaran.
PENCITRAAN BURUK “BATAK”
Cerita para peneliti Eropa dan tentunya selaras dengan pikiran para misionaris mematrikan di pikiran Eropa bahwa batak barbar dan kanibal, tak kurang seperti Junghun ahli Botani itu mengatakan orang batak lebih mirip dengan – manusia primitif belum berbudaya 3) (baca referensi).
Bangsa Eropa yang lain (terutama orang jerman atau Halak Dois “ubber ulles”) menganggap bangso batak (dan semua ras non arya) sebagai tak bertuan dan tak bertuhan 3). Misinaris selanjutnya terus membangun stigma nenek moyang batak itu kafir, tidak beradap dan seterusnya. Literatur-literatur laporan tentang batak pun ditulis dibawah kemabukan opini yang terbangun (kelak akan menjadi referensi peneliti berikutnya, termasuk orang batak modern).
Fase pendudukan Belanda , setali dua uang bersama-sama “misi” dan penjajah Belanda “memerangi” batak dan Raja Sisinga-mangaraja XII, baik perang secara fisik, budaya dan terutama adat dan agama.
Orang batak sendiri sebagian besar melanjutkan “perang dingin psikologis” terhadap tatanan budaya “religiusitas dan spritualitas Batak” yang telah dibangun nenek moyangnya selama ratusan generasi. Tanpa ragu banyak para penganut kristen batak yang sanga religiusitas menonjol tak segan mengatakan nenek moyangnya sesat tidak bertuhan, kanibal, sebagaimana stigma di atas. Akhirnya, “Belanda Bermata Hitam” tak jarang “Lebih Belanda” daripada Belanda Sibontar Mata. Mereka terus meretas sendi-sendi “Habatahon” secara membabi buta. Wilayah serta nilai Habatahon dianeksasi secara cepat dan sporadis.
Perubahan Keyakinan dan Pergeseran Nilai dalam Komunitas Batak
Sejarah mencatat dengan jelas bahwa pergeseran proprosi penganut agama berbanding “Parugamo” ditanah batak, secara kontras dan kontan diikuti pergeseran nilai baik yang terjadi begitu saja maupun yang disengaja/ terorganisir oleh kedua elemen “penganeksasi”. Nilai baru dipasang harga tinggi, nilai tradisional kreasi leluhur dibandrol murahan. Hukumnya: tergantung pasar dan keinginan mayoritas peminat/ konsumen. Sisa-sisa pendukung habatahon itu “marurus songon bulung” ketika Belanda memanfaarkan momentum, berita pengungsian Rajanya Batak “na marsahala i” dan pembumihangusan “istana Bakkara” menjadi mesiu psikologis melumpuhkan dan menguasai batak. Belum lagi “Manna Evangelis” misionaris yang menakjubkan awam saat itu, berpadu dengan politik adu-domba kekuasaan huta yang dilakukan. Setelah batak kristen terus meningkat, tentu tak perlu lagi dijelaskan, mudah diduga bagaimana nasib “Haporseaon Hamalimon Batak” dan para pendukungnya yang berjuang hidup-mati mencari “Panisioan” diatas tanah (Batak) leluhurnya sendiri.
Tanggal 17 Juni 1907 tanah batak masih menyatakan duka “martujung tapu-tapu”. Namun, hari-hari setelah itu “mayoritas batak hanya mengenangnya sebagai pejuang gugurnya pejuang politis belaka, tak lebih”. Tak heran tatanan “habatahon na marsuhi ni ampang naopat” segera digantikan dengan falsafah “dalihan natolu” yang tadinya hanya untuk urusan internal “dijabu, tataring” dianggap layak dibawa kesemua sektor kehidupan batak (alaman, balian ni huta dan mangajana).
PENGALAMAN PARMALIM ERA 1907 – 1945
Dinamika pengalaman hidup Paramlim itu secara singkat dapat digambarkan dengan kata “berjuang mendapatkan tempat diatas tanah leluhurnya”
Setelah peristiwa 17 Juni 1907 para pendukung “religiusitas dan spritualitas Hadebataon Batak” terus berkurang, peristiwa itu dimanfaatkan juga sebagai propaganda mengukuhkan kekuasaan penjajah Belanda dan mempertajam perluasan kegiatan penyebaran agama oleh misionaris, setali tiga uang, semakin kuat mengepung masyarakat yang masih setia dengan rajanya Sisingamangaraja dan ajarannya. Belanda mengangkat pejabatnya sebagai tudingan (Jaihutan, Pandua, Kepala Nagari dan Kepala Kampung) dari kerabat fungsionaris tradisional yang sudah ada sebelumnya (Parbaringin, Raja Maropat, Pangulu dll) sehingga fungsionarus kerajaan tradisional semakin berkurang pengaruh dan fungsinya, mendorong perpecahan dalam masyarakat. Dari sisi lainnya gerakan zending terus berupaya melemahkan para fungsionaris adat tradisional melalui kegiatan pengajaran agama dan melalui sekolah-sekolah zending.
Masyarakat pun teragitasi, terprovokasi semakin dalam, dan jumlah orang yang secara terbuka setia terhadap fungsionaris harajaon dan adat tradisional terus tergerus. Yang dulunya mereka dianggap sebagai panji penjaga nilai yang di hormati, semakin terkikis. Nilai-nilai “sisia-sia ni habatahon” yang luhur dijaga dari generasi ke generasi pun terus tergerus, bahkan sisa-sisa orang Batak pendukung nilai luhur dipandang sebagai “musuh” oleh saudara-saudaranya sendiri.
Orang-orang yang bekerja di hari minggu, yang tidak mau memberikan “gugu” pendirian gereja, diserahkan ke pihak pemerintah Belanda jadi pekerja rodi. Masyarakat yang melakukan aktivitas religiusitas Habatahon dituduh sesat, dikatakan pemuja setan “sipele begu”, bahkan ada yang dianiaya, disiksa bahkan rumahnya dirobohkan atau dibakar oleh saudara-saudaranya dengan arogansi di bawah dukungan pihak asing. Belanda pun tidak puas dengan keadaan seperti ini, terus memburu orang-orang yang dianggap setia pada pengaruh peninggalan Raja Sisingamangaraja. Mereka banyak yang ditangkap, dipenjarakan bahkan sebagian dibuang ke luar Sumatera.
Barada dalam tekanan dan keterpurukan, aktivitas mereka kebanyakan dilakukan secara tertutup, dan lambat laun mereka memilih diam dan terisolasi, tidak dapat mengakses pendidikan masa itu, bahkan, jika melakukan kegiatan berupa keramaian apalagi jika membunyikan musik tradisionalnya “gondang sabangunan” harus mengurus izin, singkatnya “terasing di tanah leluhur sendiri”.
Sisi positifnya, ibarat seleksi alam, keseluruhan peristiwa dan perjalanan para pendukung religiusitas-spritual luhur itu tinggal sedikit yang mampu bertahan, hanya “bibit unggul” yang mampu mewariskan nilai luhur dan perjuangannya kepada generasi penerusnya. Menyisakan orang-orang yang berprinsip teguh, terbiasa hidup ekslusif, memilih diam sekalipun diejek dan ditindas, dan menerima kenyataan hidup sekalipun pahit.
PENGALAMAN PARMALIM ERA KEMERDEKAAN SAMPAI ORDE BARU
Pada mulanya kemerdekaan RI, menginspirasi semua komponen bangsa. Para pendiri sejati bangsa ini berikrar dengan Pancasila sebagai dasar Negara. Namun, kenyataannya, stigma yang ditinggalkan penjajah tetap subur menyumbang birokrasi yang diskriminatif terhadap Penghayat Kepercayaan, membiarkannya sebagai “objek buruan sah” pemilik-pemilik agama besar, tanpa perlindungan. Memang menjadi keniscayaan, karena semua produk hokum Negara dibuat mencerminkan keinginan rakyatnya (diwakili pihak pemilik kewenangan) hingga terdapat unsur subjektivitas di dalamnya. Mulai dari pembuatan, sosialisasi, dan eksekusi produk hukum Negara kita. Kebetulan di Indonesia kebanyakan elemen penduduknya beragama, dan menganggap agama-(nya) adalah segalanya. Kebetulan pula semua agama yang diakui dating dari bangsa-budaya-adat-tradisi diluar nusantara.
Era kebangkita HAM dunia, era reformasi, era kesetaraan terus berhembus, perjuangan pun terus berlanjut “mencari ruang dirumah sendiri”, Parmalim terus bejuang. Direktorat Pembinaan Penghayat, di antara bagian unik pemerintah yang membela hak-hak sipil penghayat.
PENGALAMAN PARMALIM GENERASI KEGITA
Mendapat stigma “tidak beragama, kafir, sipele begu, sesat, ketinggalan zaman, sisa ajaran animism dari nenek moyang, penyembah berhala, dll”. Itu semua terbangun di masyarakat Batak secara massif terstruktur sejak masuknya pengaruh asing. Antara lain Invasi Islam dari Bonjol, pengaruh bangsa Eropa melalui misi penyebaran agama, omperialisme Belanda, imperialism/koptasi ilmiah oleh sebagian peneliti Barat dan peneliti lain (termasuk batak) yang merujuk referensi terdahulu. Stigma itu terbawa dan dipelihara setelah kemerdekaan.
Sebagai warga parmalim yang jumlahnya sangat sedikit dengan stigmatisasi masyarakat yang begitu kuat, tentulah bukan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi untuk usia anak-anak dan remaja parmalim, tekanan-tekanan berbau “stigma negatif”, merasa terasing dan diasingkan sesame, mendapat tekanan di sekolah adalah beban psikologis yang menantang jiwa parmalim-parmalim kecil dan muda. Semasa SD, SMP, SMA, belajar terpaksa mengikuti mata pelajaran agama lain, diharuskan mengikuti acara agama seperti Natal, dimarahi guru karena tidak ikut (ke gereja); disekolah sering dicibir “sipele begu” hal yang dialami anak-anak parmalim pada umumnya.
Pengalaman birokrasi diskriminatif berjalan terus. Tidak dilayani/dipersulit dalam pencatatan sipil, terhambat dalam pendidikan dan dunia pekerjaan.
Ada juga yang entah bagaimana memilih sikap berani berbeda sekalipun tetap mendapat tekanan psikologis, dibujuk mengganti data agamanya, diancam gagal mendapat pekerjaan. Kadang beruntung berhadapan dengan orang yang dapat menerima argument kesamaan hak di muka hukum. Yang lainnya punya cara berbeda pula, orang dengan kemampuan lebih di bidang tertentu menempuh cara “capacity building” menjadi inspiratory inklusif dalam masyarakat dan lingkungannya, sehingga ia dihormati dan orang segan mengahalangi urusannya. (ini menjadi insprirasi dalam perjuangan kami.)
Di sisi lain semangat parmalim untuk menyekolahkan anak-anaknya terus meningkat di era ini, sehingga dalam situasi stigmatisasi yang begitu kuat tetap saja anak-anak parmalim tetap mengenyam pendidikan hinggu ke pendidikan tinggi, yang saat ini juga berusia 40 – 50 tahun.